Sekolah Raja BukittinggiTetap Kokoh di Usia 146 Tahun
(catatan redaksi : Artikel disadur dari kompas thn 2002)
Kenal Van Ophuysen? Mungkin banyak orang tak mengenalnya. Jika pun kenal, barangkali lewat ejaan yang dipakai di Indonesia sebelum ejaan Suwandi dan ejaan yang disempurnakan (EYD).Di Bukittinggi, kalangan tua mengenal secara dekat nama ini. Dia adalah kepala sekolah pertama dari Sekolah Raja (Kweekschooll). Dinamakan Sekolah Raja, karena sekolahnya hebat, mutu berpendidikan tinggi, disiplin dan murid yang bisa masuk ke sana adalah orang-orang pilihan dari kalangan atas.Dan bila Anda ke Bukittinggi sekarang, Anda masih tetap bisa menemukan sekolah tersebut. Berdiri kokoh di depan Mapolres Bukittinggi tak jauh dari Jam Gadang, maskot kota dengan luas 25 Km2 itu.Di Sumatera Barat sejak paruh terakhir abad 19, Bukittinggi, Padangpanjang dan Padang serta sejumlah tempat lainnya merupakan basis pendidikan. Di sana berdiri sekolah-sekolah tua, yang disebut-sebut sebagai lembaga pencetak intelektual Minangkabau di zamannya.Sekolah Raja, didirikan pada 1 April 1856. Pada saat yang sama di Hindia Belanda hanya ada tiga sekolah sejenis, yaitu di Bandung dan di Surakarta. Melihat luas wilayah Hindia Belanda dan jumlah penduduk, bisa dibayangkan betapa bergengsinya ketiga sekolah tersebut kala itu.Di Sekolah Raja itulah Van Ophuysen menjadi kepala sekolah pertama. Tokoh pendidik ini, telah menyumbangkan pemikirannya bagi pendidikan anak-anak pribumi. Di sekolah inilah pernah bersekolah orang seperti Tan Malaka, Muhammad Hatta dan Adam Malik. Lewat sekolah inilah Ophuysen yang dibantu oleh seorang guru Melayu Abdoellatief, terus mengembangkan tradisi keilmuan di Ranah Minang. Kini sekolah yang berdiri tak jauh dari Balaikota itu, nyaris luput begitu saja. Kehadirannya sama seperti sekolah menengah atas lainnya. Cuma saja, bangunan utamanya jika diperhatikan secara cermat, akan membuktikan bahwa gedung itu adalah gedung yang sangat tua. Meski tua, tapi terawat dengan baik. Malah, tanpa gedung itu, SMU 2 Bukittinggi bisa-bisa kehilangan ruhnya. Sebab inilah satu-satunya sekolah tua di sana yang masih tersisa sebagai saksi sejarah betapa tradisi keilmuan sudah dibangun sejak lama di Bukittinggi.Sekolah yang didirikan sejak 146 tahun silam itu, pada tahun 1873 dikembangkan dengan membangun beberapa gedung lainnya. Sampai tahun 1946, sekolah ini telah mendidik ratusan orang Minangkabau, yang kemudian melanjutkan studinya ke Batavia atau ke Belanda.Selain melanjutkan studi, sangat banyak juga yang menjadi guru di Volkschoolen. Lewat merekalah kemudian, pendidikan dasar klasikal yang kuat dibangun di Minangkabau. Pada tahap berikutnya, muncul pula Normal Schooll di Padangpanjang yang juga mencetak tenaga guru.Sekolah Raja di awal abad 20 mengajarkan anak didiknya dengan mata pelajaran Bahasa Belanda, Bahasa Melayu, ilmu ukur, ilmu alam, ilmu bertanam, menggambar, ilmu ukur tanah, paedagogik serta bernyanyi. Tapi itu dulu, kini, gedung dengan jendela besar dan tinggi itu, telah jadi SMU 2. Sempat ditutup beberapa tahun, kemudian sekolah ini dihidupkan kembali. Nama Sekolah Raja tidak dipakai lagi, tapi diganti dengan Sekolah Menengah Tinggi (SMT) pada tahun 1946. Empat tahun kemudian dirubah lagi menjadi SMA. Tahun 1954 dirubah lagi menjadi SMA I B dan SMA 2 AC. Lalu SMA 2 AC dipecah lagi menjadi SMA Teladan a dan SMA 2 C yang lebih dikenal sebagai SMA Birugo Bukittinggi. Lalu menjadi SMA 2 dan terakhir SMU 2.Pada tahun 1958, ketika Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) diproklamirkan oleh Kolonel Achmad Husein di Padang, maka sekolah ini terpaksa dibagi dua. Yang satu di seberang jalan tetap menjadi sekolah di atas tanah seluas satu hektare, yang lainnya di seberang jalan menjadi markas polisi (juga satu hektare), yang sekarang menjadi Mapolres Bukittinggi. Maka tak heran, sekolah mantan gubernur Sumbar Hasan Basri Durin itu, kini seperti kesulitan mengembangkan bangunan fisiknya. Ada yang mengusulkan, alangkah baiknya jika Mapolres dipindah ke tempat lain, sehingga sejarah bisa pulang ke tampuknya.Walikota Bukittinggi Djufri, agaknya belum berfikir ke arah itu. Namun ia mengakui, bangunan bersejarah di kotanya, haruslah dilestarikan, ''Apalagi sekolah raja, orang-orang pintar di negeri ini banyak dididik di sana,'' katanya. rul (sumber Artikel kompas 2002 dan gambar dari website )
(catatan redaksi : Artikel disadur dari kompas thn 2002)
Kenal Van Ophuysen? Mungkin banyak orang tak mengenalnya. Jika pun kenal, barangkali lewat ejaan yang dipakai di Indonesia sebelum ejaan Suwandi dan ejaan yang disempurnakan (EYD).Di Bukittinggi, kalangan tua mengenal secara dekat nama ini. Dia adalah kepala sekolah pertama dari Sekolah Raja (Kweekschooll). Dinamakan Sekolah Raja, karena sekolahnya hebat, mutu berpendidikan tinggi, disiplin dan murid yang bisa masuk ke sana adalah orang-orang pilihan dari kalangan atas.Dan bila Anda ke Bukittinggi sekarang, Anda masih tetap bisa menemukan sekolah tersebut. Berdiri kokoh di depan Mapolres Bukittinggi tak jauh dari Jam Gadang, maskot kota dengan luas 25 Km2 itu.Di Sumatera Barat sejak paruh terakhir abad 19, Bukittinggi, Padangpanjang dan Padang serta sejumlah tempat lainnya merupakan basis pendidikan. Di sana berdiri sekolah-sekolah tua, yang disebut-sebut sebagai lembaga pencetak intelektual Minangkabau di zamannya.Sekolah Raja, didirikan pada 1 April 1856. Pada saat yang sama di Hindia Belanda hanya ada tiga sekolah sejenis, yaitu di Bandung dan di Surakarta. Melihat luas wilayah Hindia Belanda dan jumlah penduduk, bisa dibayangkan betapa bergengsinya ketiga sekolah tersebut kala itu.Di Sekolah Raja itulah Van Ophuysen menjadi kepala sekolah pertama. Tokoh pendidik ini, telah menyumbangkan pemikirannya bagi pendidikan anak-anak pribumi. Di sekolah inilah pernah bersekolah orang seperti Tan Malaka, Muhammad Hatta dan Adam Malik. Lewat sekolah inilah Ophuysen yang dibantu oleh seorang guru Melayu Abdoellatief, terus mengembangkan tradisi keilmuan di Ranah Minang. Kini sekolah yang berdiri tak jauh dari Balaikota itu, nyaris luput begitu saja. Kehadirannya sama seperti sekolah menengah atas lainnya. Cuma saja, bangunan utamanya jika diperhatikan secara cermat, akan membuktikan bahwa gedung itu adalah gedung yang sangat tua. Meski tua, tapi terawat dengan baik. Malah, tanpa gedung itu, SMU 2 Bukittinggi bisa-bisa kehilangan ruhnya. Sebab inilah satu-satunya sekolah tua di sana yang masih tersisa sebagai saksi sejarah betapa tradisi keilmuan sudah dibangun sejak lama di Bukittinggi.Sekolah yang didirikan sejak 146 tahun silam itu, pada tahun 1873 dikembangkan dengan membangun beberapa gedung lainnya. Sampai tahun 1946, sekolah ini telah mendidik ratusan orang Minangkabau, yang kemudian melanjutkan studinya ke Batavia atau ke Belanda.Selain melanjutkan studi, sangat banyak juga yang menjadi guru di Volkschoolen. Lewat merekalah kemudian, pendidikan dasar klasikal yang kuat dibangun di Minangkabau. Pada tahap berikutnya, muncul pula Normal Schooll di Padangpanjang yang juga mencetak tenaga guru.Sekolah Raja di awal abad 20 mengajarkan anak didiknya dengan mata pelajaran Bahasa Belanda, Bahasa Melayu, ilmu ukur, ilmu alam, ilmu bertanam, menggambar, ilmu ukur tanah, paedagogik serta bernyanyi. Tapi itu dulu, kini, gedung dengan jendela besar dan tinggi itu, telah jadi SMU 2. Sempat ditutup beberapa tahun, kemudian sekolah ini dihidupkan kembali. Nama Sekolah Raja tidak dipakai lagi, tapi diganti dengan Sekolah Menengah Tinggi (SMT) pada tahun 1946. Empat tahun kemudian dirubah lagi menjadi SMA. Tahun 1954 dirubah lagi menjadi SMA I B dan SMA 2 AC. Lalu SMA 2 AC dipecah lagi menjadi SMA Teladan a dan SMA 2 C yang lebih dikenal sebagai SMA Birugo Bukittinggi. Lalu menjadi SMA 2 dan terakhir SMU 2.Pada tahun 1958, ketika Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) diproklamirkan oleh Kolonel Achmad Husein di Padang, maka sekolah ini terpaksa dibagi dua. Yang satu di seberang jalan tetap menjadi sekolah di atas tanah seluas satu hektare, yang lainnya di seberang jalan menjadi markas polisi (juga satu hektare), yang sekarang menjadi Mapolres Bukittinggi. Maka tak heran, sekolah mantan gubernur Sumbar Hasan Basri Durin itu, kini seperti kesulitan mengembangkan bangunan fisiknya. Ada yang mengusulkan, alangkah baiknya jika Mapolres dipindah ke tempat lain, sehingga sejarah bisa pulang ke tampuknya.Walikota Bukittinggi Djufri, agaknya belum berfikir ke arah itu. Namun ia mengakui, bangunan bersejarah di kotanya, haruslah dilestarikan, ''Apalagi sekolah raja, orang-orang pintar di negeri ini banyak dididik di sana,'' katanya. rul (sumber Artikel kompas 2002 dan gambar dari website )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar